Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.

Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.

Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

Sejarah Awal

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945, adalah Badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 Ir.Sukarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Kemudian BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang untuk menyempurnakan rumusan Dasar Negara. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945, adalah Badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 Ir.Sukarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Kemudian BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang untuk menyempurnakan rumusan Dasar Negara. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Periode UUD 1945 Amandemen


Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:



SEJARAH PANJANG KEWARGA-NEGARAAN sejak masa kolonial-perjanjian dwi kewarganegaraan

I. ZAMAN KOLONIAL

REGERINGS REGLEMENT tahun 1854 membagi penduduk Hindia Belanda
menjadi 3 golongan yaitu Europeanen, Inlanders dan Vreemde
Oosterlingen (Timur Jauh termasuk Arab, India, Tionghoa dll kecuali
Jepang).

Pemerintah Belanda tetap memberlakukan sistem pemisahan penduduk
berdasarkan kategori rasial saat Indische Staatsinrichting
menggantikan Regerings Reglement. Pasal 163 I.S. mengkategorisasi
penduduk menjadi golongan Nederlanders/Europeanen (termasuk Jepang),
Inheemsen (pengganti istilah Inlander), Uitheemsen (Vreemde
oosterlingen atau Timur Asing). Menurut Mr. Schrieke pembagian itu
berdasarkan perbedaan "nationalieit", bukan berdasarkan `ras
criterium'. Tetapi pada kenyataannya, kriteria `ras' tetap
digunakan.

Pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan ganjil dengan
mengeluarkan undang-undang Wet op de Nederlanderschap di tahun 1892.

Keganjilan itu adalah bahwa mereka yang berada di Nederland Indie
(Indonesia) termasuk yang dinamakan `inlanders' dan yang disamakan
dengan `inlanders' tidak diberi status "nederlanders". Sedangkan
keturunan Tionghoa, Arab dan India yang dilahirkan di Suriname
dengan
undang-undang tersebut memperoleh status Nederlander. Orang Jepang
yang dilahirkan di Nederland Indie mendapat status Nederlander.

Kebijakan politik Belanda ini mempersamakan seluruh golongan Asia
(kecuali Jepang), termasuk golongan Tionghoa dan keturunannya,
sebagai golongan "inlander" (pribumi). Sehingga posisi, hak dan
kewajiban seluruh golongan Asia di Hindia Belanda menjadi setara.
Secara tidak sengaja, kebijakan politik ini juga memperlancar
proses "pribumisasi".

Kondisi politik akibat kebangkitan nasionalisme Asia yang dipelopori
oleh Dr. Sun Yat Sen memaksa Belanda mengeluarkan Wet op de
Nederlandsch Onderdaanschap (Undang-Undang Kawula Belanda) pada
tanggal 10 Februari 1910 dengan tujuan untuk mengurangi jumlah orang
Tionghoa yang berada di bawah jurisdiksi perwakilan pemerintah
Tiongkok. Sehingga intervensi Tiongkok dapat dikurangi.

Karena itu Belanda menerapkan ius soli dan stelsel pasif dengan
tidak
memberi hak repudiatie (hak menolak kewarga-negaraan). Dengan
demikian, orang Tionghoa yang dilahirkan di Hindia Belanda semerta-
merta berstatus dwi-kewarganegaraan karena di saat yang sama Dinasti
Qing mengadobsi ius sanguinis sebagai asas kewarganegaraan yang
diumumkan pada tahun 1909.

Menurut P.H Fromberg Sr, golongan Tionghoa tidak antusias menyambut
Undang-Undang Kekawulaan Belanda. Kewajiban `Indie Weerbaar'
(pertahanan Hindia Belanda) yang mewajibkan seluruh kawula Belanda
menjadi milisi untuk mempertahankan kepentingan kolonial menambah
kuat resistensi golongan Tionghoa. Tjoe Bou San berpendapat
bahwa "indie Weerbaar bukan satu kepentingan umum. Itu melainkan
adalah satu kepentingan dari kapital Belanda. Orang Tionghoa tidak
punya kepentingan di situ. Orang Bumiputera tidak. Orang Indo-
Belanda
tidak".

Di tahun 1918, Tjoe Bou San melancarkan kampanye menolak Undang-
Undang Wet op de Nederlaandsch Onderdaanschap. Menurut berita Sin
Po,
kampanye ini berhasil menghimpun sekitar 30.000 tanda tangan. Hauw
Tek Kong, mantan direktur Sin Po, ditugaskan membawa petisi itu ke
Tiongkok dan meminta pemerintah Tiongkok untuk mendesak Belanda agar
memberikan hak repudiasi kepada peranakan Tionghoa. Akan tetapi,
pemerintah Republik Tiongkok tetap berpegang pada
kesepakatan "Perjanjian Konsuler 1911" yang mengakui hak jurisdiksi
pemerintah Belanda terhadap peranakan Tionghoa di wilayah teritorial
Belanda.

Pengakuan terhadap juridiksi Belanda oleh Republik Tiongkok yang
meneruskan asas ius sanguinis mengakibatkan golongan Tionghoa yang
lahir di Tiongkok sekalipun telah menetap di Hindia Belanda tetap
berstatus warga-negara Tiongkok. Sedangkan keturunan Tionghoa yang
dilahirkan di Hindia Belanda memiliki kewarga-negaraan rangkap i.e.
kawula Belanda dan warganegara Tiongkok.

Pembagian kekawulaan Belanda berdasarkan penggolongan ras tidak
memuaskan banyak pihak. Karena dinilai tidak memupuk rasa bersatu
sebagai sesama putera satu negara. Hingga di tahun 1936 muncul
petitie Roep, tokoh PEB, bersama dengan Yo Heng Kam dan Prawoto yang
menuntut sebuah Undang-Undang Kewarganegaraan di Indonesia dengan
menghapus pembagian penduduk berdasarkan `ras'. Kelemahan petisi
Roep
ini adalah penggunaan kategori perbedaan strata sosial dan
intelektual sebagai pengganti kategori rasial.

Gagasan sistem 1 jenis kewarga-negaraan tanpa diskriminasi kembali
muncul dalam Volksraad dengan diajukannya petisi Soetardjo. Isi
petisi Soetardjo antara lain menyatakan bahwa syarat untuk diakui
sebagai warga-negara dapat ditentukan a.l: lahir di Indonesia, asal
keturunan, orientasi hidup kemudian hari. Jadi semua orang Indonesia
dan semua golongan Indo, yang dilahirkan di Indonesia dan orang
asing, yang bersedia mengakui negeri ini sebagai tanah-airnya,
bersedia memikul segala konsekuensi dari pengakuan ini, dinyatakan
sebagai warga-negara.

I.I. PASCA KEMERDEKAAN

Pasca kemerdekaan, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP
KNIP) bersama dengan Kabinet Syahrir I menghasilkan Undang-Undang
Kewarga-negaraan dan penduduk RI. Perdebatan rumusan kewarga-negaran
pada saat itu berkisar seputar pengadobsian stelsel pasif atau
aktif,
jaminan pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri dan usia dewasa 21
tahun.

Pada tanggal 10 April 1946, UU No.3/1946 dengan berdasarkan asas ius
soli dan stelsel pasif ditanda-tangani oleh Presiden Soekarno dan
Menteri Kehakiman Soewandi. Dengan demikian semua orang yang
dilahirkan di Indonesia dinyatakan sebagai warga-negara pada saat
berlakunya UU Kewarga-negaraan dengan hak repudiasi.

Dikeluarkannya UU No.3/1946 ini disambut positif oleh Angkatan Muda
Tionghoa (AMT) di Malang. AMT mengambil inisiatif melakukan kampanye
dan sosialisasi UU Kewarganegaraan kepada publik Jawa Timur. Mr. Tan
Po Goan, yang kebetulan sedang berada di Malang, ikut memberi
penjelasan-penjelasan mengenai UU No.3/1946.

Di tahun 1953, komunitas Tionghoa dikejutkan dengan keluarnya sebuah
draft Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia baru. RUU
Kewarganegaraan baru ini menyatakan :

1. Opsi Kewarganegaraan Indonesia yang berakhir tanggal 27 Desember
1951 dinyatakan batal. Golongan Peranakan diwajibkan memilih kembali
status kewarganegaraannya.
2. Syarat menjadi warga-negara Indonesia diperberat. Tidak cukup
lagi
dengan telah lahir di teritorial Indonesia. Ayahnya pun harus
dilahirkan di Indonesia.
3. Diberlakukannya stelsel aktif. Artinya, seorang peranakan yang
hendak memilih kewarganegaraan Indonesia harus datang ke pengadilan
negeri dengan membawa bukti-bukti Surat Keterangan lahir ayah dan
dirinya.

Pada saat RUU Kewarganegaraan baru ini muncul, terdapat dua orang
Menteri Negara keturunan Tionghoa i.e. Dr. Ong Eng Die dan Dr. Lie
Kiat Teng. Butir pasal pembatalan kewarganegaraan RUU
Kewarganegaraan
baru itu akan membatalkan status kewarganegaraan kedua orang Menteri
Negara keturunan Tionghoa tersebut. Sehingga, apabila RUU
Kewarganegaraan baru ini berhasil disahkan menjadi UU maka akan
terdapat dua orang Menteri Negara dengan status orang asing.

Atas prakarsa Partai Demokrat Tionghoa Indonesia, dibentuklah
panitia
kerja untuk membahas draft RUU Kewarganegaraan baru tersebut. Siauw
Giok Tjhan terpilih sebagai ketua panitia kerja. Dengan dukungan
menteri-menteri dari fraksi Nasional Progresif pimpinan Siauw Giok
Tjhan, persoalan RUU Kewarganegaraan baru tersebut dibawa ke sidang
kabinet. Aksi penolakan dan tekanan berhasil membatalkan RUU
Kewarganegaraan baru tersebut. Kabinet menyatakan bahwa naskah
semacam itu tidak pernah disahkan oleh sidang kabinet.

III. PERJANJIAN PENYELESAIAN DWI KEWARGANEGARAAN

Penyelesaian masalah dwi-kewarganegaraan ditandatangani sesaat
setelah berakhirnya Konferensi Asia-Afrik tahun 1955. Sejak tahun
1954, RRT mulai mengubah kebijakan kewarganegaraan sekalipun tetap
menganut asas ius sanguinis sebagai asas primer. PM. Zhou En Lai
dalam Konferensi A-A menjelaskan bahwa RRT berhasrat menyelesaikan
masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa dengan negara-negara yang
memiliki hubungan baik atau hubungan diplomatik dengan RRT. Dengan
adanya komunike atau perjanjian penyelesaian dwi-kewarganegaraan
maka
etnis Tionghoa yang secara sukarela mengambil kewarganegaraan
setempat akan kehilangan kewarganegaraan Tiongkok.

Perjanjian Penyelesaian Dwi-kewarganegaraan antara RI-RRT dilakukan
kedua belah pihak sebagai simbolisasi keinginan mempererat hubungan
persahabatan antara Rakyat Indonesia dan Rakyat Tiongkok.

Masalah dwi-kewarganegaran diakui sebagai warisan zaman lampau yang
perlu diselesaikan dengan semangat persahabatan dan sesuai dengan
kepentingan rakyat kedua negara. Komunike bersama ini juga
diharapkan
dapat melenyapkan kemungkinan siasat adu-domba negara imperialis
yang
dapat merugikan hubungan persahabatan Ri-RRT.

Isi perjanjian awal penyelesaian masalah dwi kewarganegaraan
menentukan bahwa pemilihan kewarganegaraan dilakukan berdasarkan
stelsel aktif. Pernyataan kewarganegaraan dilakukan di hadapan
pengadilan negeri Indonesia dengan menyertakan surat bukti
kewarganegaraan RI dan surat bukti kelahiran di Indonesia.

Baperki mengajukan keberatan atas butir kesepakatan ini. Baperki
menguatirkan dampak dari butir kesepakatan ini akan menyebabkan
bertambahnya orang asing di Indonesia. Baperki bersikeras bahwa
semua
keturunan Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia
berdasarkan UU No.4/1946 dan persetujuan KMB tetap dinyatakan
sebagai
WNI. Sehingga kewajiban memilih hanya berlaku kepada anak-anak orang
Tionghoa asing yang telah berusia 18 tahun.

Keberatan Baperki ini diterima oleh PM. Ali Sastroamidjojo dan PM
Zhou En Lai. Perubahan dilakukan dengan tukar-menukar nota
kesepakatan oleh kedua belah pihak pada tanggal 3 Juni 1955 di
Peking.

Perubahan tersebut menyatakan: "…diantara mereka yang serempak
berkewarganegaraan RI dan RRT terdapat satu golongan, yang dapat
dianggap mempunyai hanya satu kewarganegaraan dan tidak mempunyai
dwikewarganegaraan karena, menurut pendapat Pemerintah Repulik
Indonesia, kedudukan sosial dan politik mereka membuktikan bahwa
mereka dengan sendirinya (secara implisit) telah melepaskan
kewarganegaraan RRT. Orang-orang yang termasuk golongan tersebut di
atas,…, tidak diwajibkan untuk memilih kewarganegaraan menurut
ketentuan-ketentuan Perjanjian Dwikewarganegaraan."

Dengan demikian, sekalipun tidak maksimal, stelsel aktif tidak
berlaku sepenuhnya. Sehingga mereka yang berstatus sosial sebagai
pegawai negari, pejabat negara RI, militer dan mereka yang bermata-
pencaharian sama dengan rakyat setempat seperti petani, nelayan,
tukang becak dan penjual sayur serta mereka yang ikut pemilu tahun
1955 dinyatakan sebagai WNI tanpa perlu memilih kewarganegaraan.

Perubahan ini tidak segera diratifikasi. Sekalipun menurut Duta
Besar
RI, Arnold Mononutu, perundingan dalam rangka mencapai kesepakatan
exchange of notes berlangsung lama sekali dan baru dicapai
kesepakatan di saat terakhir karena kedua belah pihak hendak
membuktikan adanya goodwill, terutama untuk membuktikan kehendak
bersetia-kawan dengan saling bertoleransi. Perjanjian penyelesaian
masalah dwi kewarganegaraan baru diratifikasi menjadi UU No.2 di
tahun 1958.

Kewarganegaraan Republik Indonesia

Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional.

Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah

  1. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
  2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
  3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
  4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
  5. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
  6. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
  7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
  8. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
  9. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
  10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
  11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
  12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi

  1. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
  2. anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
  3. anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
  4. anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.

Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:

  1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
  2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia

Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.

Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.

Dari UU ini terlihat bahwa secara prinsip Republik Indonesia menganut asas kewarganegaraan ius sanguinis; ditambah dengan ius soli terbatas (lihat poin 8-10) dan kewarganegaraan ganda terbatas (poin 11).