SEJARAH PANJANG KEWARGA-NEGARAAN sejak masa kolonial-perjanjian dwi kewarganegaraan

I. ZAMAN KOLONIAL

REGERINGS REGLEMENT tahun 1854 membagi penduduk Hindia Belanda
menjadi 3 golongan yaitu Europeanen, Inlanders dan Vreemde
Oosterlingen (Timur Jauh termasuk Arab, India, Tionghoa dll kecuali
Jepang).

Pemerintah Belanda tetap memberlakukan sistem pemisahan penduduk
berdasarkan kategori rasial saat Indische Staatsinrichting
menggantikan Regerings Reglement. Pasal 163 I.S. mengkategorisasi
penduduk menjadi golongan Nederlanders/Europeanen (termasuk Jepang),
Inheemsen (pengganti istilah Inlander), Uitheemsen (Vreemde
oosterlingen atau Timur Asing). Menurut Mr. Schrieke pembagian itu
berdasarkan perbedaan "nationalieit", bukan berdasarkan `ras
criterium'. Tetapi pada kenyataannya, kriteria `ras' tetap
digunakan.

Pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan ganjil dengan
mengeluarkan undang-undang Wet op de Nederlanderschap di tahun 1892.

Keganjilan itu adalah bahwa mereka yang berada di Nederland Indie
(Indonesia) termasuk yang dinamakan `inlanders' dan yang disamakan
dengan `inlanders' tidak diberi status "nederlanders". Sedangkan
keturunan Tionghoa, Arab dan India yang dilahirkan di Suriname
dengan
undang-undang tersebut memperoleh status Nederlander. Orang Jepang
yang dilahirkan di Nederland Indie mendapat status Nederlander.

Kebijakan politik Belanda ini mempersamakan seluruh golongan Asia
(kecuali Jepang), termasuk golongan Tionghoa dan keturunannya,
sebagai golongan "inlander" (pribumi). Sehingga posisi, hak dan
kewajiban seluruh golongan Asia di Hindia Belanda menjadi setara.
Secara tidak sengaja, kebijakan politik ini juga memperlancar
proses "pribumisasi".

Kondisi politik akibat kebangkitan nasionalisme Asia yang dipelopori
oleh Dr. Sun Yat Sen memaksa Belanda mengeluarkan Wet op de
Nederlandsch Onderdaanschap (Undang-Undang Kawula Belanda) pada
tanggal 10 Februari 1910 dengan tujuan untuk mengurangi jumlah orang
Tionghoa yang berada di bawah jurisdiksi perwakilan pemerintah
Tiongkok. Sehingga intervensi Tiongkok dapat dikurangi.

Karena itu Belanda menerapkan ius soli dan stelsel pasif dengan
tidak
memberi hak repudiatie (hak menolak kewarga-negaraan). Dengan
demikian, orang Tionghoa yang dilahirkan di Hindia Belanda semerta-
merta berstatus dwi-kewarganegaraan karena di saat yang sama Dinasti
Qing mengadobsi ius sanguinis sebagai asas kewarganegaraan yang
diumumkan pada tahun 1909.

Menurut P.H Fromberg Sr, golongan Tionghoa tidak antusias menyambut
Undang-Undang Kekawulaan Belanda. Kewajiban `Indie Weerbaar'
(pertahanan Hindia Belanda) yang mewajibkan seluruh kawula Belanda
menjadi milisi untuk mempertahankan kepentingan kolonial menambah
kuat resistensi golongan Tionghoa. Tjoe Bou San berpendapat
bahwa "indie Weerbaar bukan satu kepentingan umum. Itu melainkan
adalah satu kepentingan dari kapital Belanda. Orang Tionghoa tidak
punya kepentingan di situ. Orang Bumiputera tidak. Orang Indo-
Belanda
tidak".

Di tahun 1918, Tjoe Bou San melancarkan kampanye menolak Undang-
Undang Wet op de Nederlaandsch Onderdaanschap. Menurut berita Sin
Po,
kampanye ini berhasil menghimpun sekitar 30.000 tanda tangan. Hauw
Tek Kong, mantan direktur Sin Po, ditugaskan membawa petisi itu ke
Tiongkok dan meminta pemerintah Tiongkok untuk mendesak Belanda agar
memberikan hak repudiasi kepada peranakan Tionghoa. Akan tetapi,
pemerintah Republik Tiongkok tetap berpegang pada
kesepakatan "Perjanjian Konsuler 1911" yang mengakui hak jurisdiksi
pemerintah Belanda terhadap peranakan Tionghoa di wilayah teritorial
Belanda.

Pengakuan terhadap juridiksi Belanda oleh Republik Tiongkok yang
meneruskan asas ius sanguinis mengakibatkan golongan Tionghoa yang
lahir di Tiongkok sekalipun telah menetap di Hindia Belanda tetap
berstatus warga-negara Tiongkok. Sedangkan keturunan Tionghoa yang
dilahirkan di Hindia Belanda memiliki kewarga-negaraan rangkap i.e.
kawula Belanda dan warganegara Tiongkok.

Pembagian kekawulaan Belanda berdasarkan penggolongan ras tidak
memuaskan banyak pihak. Karena dinilai tidak memupuk rasa bersatu
sebagai sesama putera satu negara. Hingga di tahun 1936 muncul
petitie Roep, tokoh PEB, bersama dengan Yo Heng Kam dan Prawoto yang
menuntut sebuah Undang-Undang Kewarganegaraan di Indonesia dengan
menghapus pembagian penduduk berdasarkan `ras'. Kelemahan petisi
Roep
ini adalah penggunaan kategori perbedaan strata sosial dan
intelektual sebagai pengganti kategori rasial.

Gagasan sistem 1 jenis kewarga-negaraan tanpa diskriminasi kembali
muncul dalam Volksraad dengan diajukannya petisi Soetardjo. Isi
petisi Soetardjo antara lain menyatakan bahwa syarat untuk diakui
sebagai warga-negara dapat ditentukan a.l: lahir di Indonesia, asal
keturunan, orientasi hidup kemudian hari. Jadi semua orang Indonesia
dan semua golongan Indo, yang dilahirkan di Indonesia dan orang
asing, yang bersedia mengakui negeri ini sebagai tanah-airnya,
bersedia memikul segala konsekuensi dari pengakuan ini, dinyatakan
sebagai warga-negara.

I.I. PASCA KEMERDEKAAN

Pasca kemerdekaan, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP
KNIP) bersama dengan Kabinet Syahrir I menghasilkan Undang-Undang
Kewarga-negaraan dan penduduk RI. Perdebatan rumusan kewarga-negaran
pada saat itu berkisar seputar pengadobsian stelsel pasif atau
aktif,
jaminan pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri dan usia dewasa 21
tahun.

Pada tanggal 10 April 1946, UU No.3/1946 dengan berdasarkan asas ius
soli dan stelsel pasif ditanda-tangani oleh Presiden Soekarno dan
Menteri Kehakiman Soewandi. Dengan demikian semua orang yang
dilahirkan di Indonesia dinyatakan sebagai warga-negara pada saat
berlakunya UU Kewarga-negaraan dengan hak repudiasi.

Dikeluarkannya UU No.3/1946 ini disambut positif oleh Angkatan Muda
Tionghoa (AMT) di Malang. AMT mengambil inisiatif melakukan kampanye
dan sosialisasi UU Kewarganegaraan kepada publik Jawa Timur. Mr. Tan
Po Goan, yang kebetulan sedang berada di Malang, ikut memberi
penjelasan-penjelasan mengenai UU No.3/1946.

Di tahun 1953, komunitas Tionghoa dikejutkan dengan keluarnya sebuah
draft Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia baru. RUU
Kewarganegaraan baru ini menyatakan :

1. Opsi Kewarganegaraan Indonesia yang berakhir tanggal 27 Desember
1951 dinyatakan batal. Golongan Peranakan diwajibkan memilih kembali
status kewarganegaraannya.
2. Syarat menjadi warga-negara Indonesia diperberat. Tidak cukup
lagi
dengan telah lahir di teritorial Indonesia. Ayahnya pun harus
dilahirkan di Indonesia.
3. Diberlakukannya stelsel aktif. Artinya, seorang peranakan yang
hendak memilih kewarganegaraan Indonesia harus datang ke pengadilan
negeri dengan membawa bukti-bukti Surat Keterangan lahir ayah dan
dirinya.

Pada saat RUU Kewarganegaraan baru ini muncul, terdapat dua orang
Menteri Negara keturunan Tionghoa i.e. Dr. Ong Eng Die dan Dr. Lie
Kiat Teng. Butir pasal pembatalan kewarganegaraan RUU
Kewarganegaraan
baru itu akan membatalkan status kewarganegaraan kedua orang Menteri
Negara keturunan Tionghoa tersebut. Sehingga, apabila RUU
Kewarganegaraan baru ini berhasil disahkan menjadi UU maka akan
terdapat dua orang Menteri Negara dengan status orang asing.

Atas prakarsa Partai Demokrat Tionghoa Indonesia, dibentuklah
panitia
kerja untuk membahas draft RUU Kewarganegaraan baru tersebut. Siauw
Giok Tjhan terpilih sebagai ketua panitia kerja. Dengan dukungan
menteri-menteri dari fraksi Nasional Progresif pimpinan Siauw Giok
Tjhan, persoalan RUU Kewarganegaraan baru tersebut dibawa ke sidang
kabinet. Aksi penolakan dan tekanan berhasil membatalkan RUU
Kewarganegaraan baru tersebut. Kabinet menyatakan bahwa naskah
semacam itu tidak pernah disahkan oleh sidang kabinet.

III. PERJANJIAN PENYELESAIAN DWI KEWARGANEGARAAN

Penyelesaian masalah dwi-kewarganegaraan ditandatangani sesaat
setelah berakhirnya Konferensi Asia-Afrik tahun 1955. Sejak tahun
1954, RRT mulai mengubah kebijakan kewarganegaraan sekalipun tetap
menganut asas ius sanguinis sebagai asas primer. PM. Zhou En Lai
dalam Konferensi A-A menjelaskan bahwa RRT berhasrat menyelesaikan
masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa dengan negara-negara yang
memiliki hubungan baik atau hubungan diplomatik dengan RRT. Dengan
adanya komunike atau perjanjian penyelesaian dwi-kewarganegaraan
maka
etnis Tionghoa yang secara sukarela mengambil kewarganegaraan
setempat akan kehilangan kewarganegaraan Tiongkok.

Perjanjian Penyelesaian Dwi-kewarganegaraan antara RI-RRT dilakukan
kedua belah pihak sebagai simbolisasi keinginan mempererat hubungan
persahabatan antara Rakyat Indonesia dan Rakyat Tiongkok.

Masalah dwi-kewarganegaran diakui sebagai warisan zaman lampau yang
perlu diselesaikan dengan semangat persahabatan dan sesuai dengan
kepentingan rakyat kedua negara. Komunike bersama ini juga
diharapkan
dapat melenyapkan kemungkinan siasat adu-domba negara imperialis
yang
dapat merugikan hubungan persahabatan Ri-RRT.

Isi perjanjian awal penyelesaian masalah dwi kewarganegaraan
menentukan bahwa pemilihan kewarganegaraan dilakukan berdasarkan
stelsel aktif. Pernyataan kewarganegaraan dilakukan di hadapan
pengadilan negeri Indonesia dengan menyertakan surat bukti
kewarganegaraan RI dan surat bukti kelahiran di Indonesia.

Baperki mengajukan keberatan atas butir kesepakatan ini. Baperki
menguatirkan dampak dari butir kesepakatan ini akan menyebabkan
bertambahnya orang asing di Indonesia. Baperki bersikeras bahwa
semua
keturunan Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia
berdasarkan UU No.4/1946 dan persetujuan KMB tetap dinyatakan
sebagai
WNI. Sehingga kewajiban memilih hanya berlaku kepada anak-anak orang
Tionghoa asing yang telah berusia 18 tahun.

Keberatan Baperki ini diterima oleh PM. Ali Sastroamidjojo dan PM
Zhou En Lai. Perubahan dilakukan dengan tukar-menukar nota
kesepakatan oleh kedua belah pihak pada tanggal 3 Juni 1955 di
Peking.

Perubahan tersebut menyatakan: "…diantara mereka yang serempak
berkewarganegaraan RI dan RRT terdapat satu golongan, yang dapat
dianggap mempunyai hanya satu kewarganegaraan dan tidak mempunyai
dwikewarganegaraan karena, menurut pendapat Pemerintah Repulik
Indonesia, kedudukan sosial dan politik mereka membuktikan bahwa
mereka dengan sendirinya (secara implisit) telah melepaskan
kewarganegaraan RRT. Orang-orang yang termasuk golongan tersebut di
atas,…, tidak diwajibkan untuk memilih kewarganegaraan menurut
ketentuan-ketentuan Perjanjian Dwikewarganegaraan."

Dengan demikian, sekalipun tidak maksimal, stelsel aktif tidak
berlaku sepenuhnya. Sehingga mereka yang berstatus sosial sebagai
pegawai negari, pejabat negara RI, militer dan mereka yang bermata-
pencaharian sama dengan rakyat setempat seperti petani, nelayan,
tukang becak dan penjual sayur serta mereka yang ikut pemilu tahun
1955 dinyatakan sebagai WNI tanpa perlu memilih kewarganegaraan.

Perubahan ini tidak segera diratifikasi. Sekalipun menurut Duta
Besar
RI, Arnold Mononutu, perundingan dalam rangka mencapai kesepakatan
exchange of notes berlangsung lama sekali dan baru dicapai
kesepakatan di saat terakhir karena kedua belah pihak hendak
membuktikan adanya goodwill, terutama untuk membuktikan kehendak
bersetia-kawan dengan saling bertoleransi. Perjanjian penyelesaian
masalah dwi kewarganegaraan baru diratifikasi menjadi UU No.2 di
tahun 1958.

4 komentar:

Amrina Rosyada mengatakan...

Permisi kakak, itu boleh tau sumbernya dari buku mana ? saya sdg mencari buku yang berisi sejarah Kewarganegaraan . jawaban sangat membantu, tolong kirim ke email saya ya kak, : a.amrinarosyada@gmail.com
terimakasih :)

Unknown mengatakan...

kak, saya mau tanya. ini referensinya dari buku apa ya kak? mohon dijawab ya kak. bisa jawab melalui email annisameidiyani@gmail.com terimakasih banyak kak :)

Unknown mengatakan...

selain bermanfaat, desainnya keren

Narasi Antaralinea mengatakan...

setuju dengan komentar lain, artikel ini sangat membantu, tetapi apa boleh disebutkan juga dari mana sumbernya?

Posting Komentar